Kalau ada cara sederhana untuk mendeskripsikan buku ini, mungkin kata berikut tepat. Sinisme. Tidak bisa tidak, saya merasakan sinisme yang dibalut kepedihan dan kehilangan seorang anak yang kuat membanjiri setiap halamannya. Bagaimanapun Titik Nol adalah Safarnama , catatan perjalanan, seorang Agustinus Wibowo. Entahlah. Bagi sebagian besar teman yang saya tanyai, buku-buku Agustinus Wibowo adalah representatif petualang dengan segala pesonanya. Bagi saya, membaca Selimut Debu, Garis Batas, dan ditutup dengan Titik Nol, adalah racikan menawan kopi kehidupan. Pahit, tapi disaat yang sama memukau.
Begitu banyak buku yang dibaca, dan begitu sedikit waktu untuk menulis catatan tentangnya. Saya lupa dimana saya mendengarnya, tapi cukup yakin di sebuah film. Dan itu terjadi selama beberapa bulan ini. Blog buku ini terbengkalai sejak april tahun ini. Bagi blogger sambilan macam saya, ternyata posting itu menjadi hal sederhana yang berubah jadi tantangan. Rencana sederhana, satu postingan satu bulan mungkin jadi solusi efektif. Jadi, buku apa yang kita obrolin kali ini. Pilihan saya adalah The Book Club -nya Mary Alice Monroe. Jujur saja buku ini terbilang istimewa.