Source : Getty Images |
Tapi ada satu buku, yang begitu membekas dalam ingtan dan kenangan saya. Buku yang hilang dan bisa dipastikan hancur bersama ratusan buku lainnya milik saya, saat tsunami menerjang pesisir Aceh, sehari selepas natal tahun 2004.
Buku itu pertama saya temukan terselip dalam tumpukan buku-buku tua, campur aduk antara buku milik almarhum Nek Ayah (kakek) dan buku-buku masa muda Ayah saya. Sejak awal buku itu sudah tidak punya sampul dan halaman paling depan adalah halaman 3 dari bab pertama.
Entah apa yang membuat saya tertarik. Mungkin karena penjilidannya yang dijahit, berbeda dengan buku saat itu (dan sekarang) yang hanya menggunakan lem. Mungkin juga karena pilihan hurufnya yang agak berbeda dengan buku kebanyakan. Saya tidak ingat lagi apa jenis hurufnya, namun yang jelas agak berbeda. Saat itu saya baru kelas 1 SMA, dan mulai belajar mengenai jenis huruf dan desain.
Buku tua dengan ejaan lama itu langsung memukau saya. Menghabiskan waktu agak lebih lama dari biasanya, karena otak yang tidak terbiasa membaca toelisan tempo doeloe, saya larut dalam cerita seorang serdadu amerika di medan perang dunia pertama.
Cerita diawali dengan diterjunkannya mereka dari pesawat, tepat ke wilayah kekuasaan Jerman di Perancis. Walaupun kehilangan dua lembar halaman dari bab pertama, namun ceritanya masih tersampaikan dengan cukup baik.
Berbeda dengan pencitraan yang selalu menggambarkan prajurit Amerika sebagai sosok hebat tak kenal takut, kecuali di beberapa film seperti Black Hawk Down, dan serial semi dokumenter Band of Brother & The Pacifik, buku ini menampilkan para prajurit muda secara apa adanya.
Ketakutan dan bingung, namun tak punya pilihan selain berusaha bertahan hidup. Kerinduan pada keluarga, bahkan seorang tokoh yang saya lupa namanya, walaupun lari dari rumah, namun merindukan kehidupan jalanan di Amerika,yang jauh lebih ramah daripada perang.
Secara garis besar, ceritanya sangat manusiawi. Fokus utamanya adalah pada perjalanan si tokoh utama, yang terpisah dari pasukannya. Bagaimana ia berjuang hidup, bukan hanya dengan bertempur, malah lebih banyak mengandalkan akal dan kecerdikan. Menghindari musuh, bahkan sampai berpura-pura mati.
Saya menghabiskan waktu mencari kembali buku ini, tapi tanpa judul, seperti mencari sekeping uang yang jatuh dipadang pasir. Mencoba melacak dari penerbit lama Pradnya Paramita, karena seingat saya logonya mirip. Tapi hasilnya, nihil.
Buku itu tetap akan menjadi buku tanpa judul.
Comments
Post a Comment