Saya terpesona pada kekuatan deskripsi yang begitu mendetai, namun jauh dari membosankan. Berat, sudah pasti. Membaca tulisan Orhan Pamuk, jelas tidak bisa disamakan dengan membaca teenlit, atau cerita pop yang unyu-unyu menjiplak serial korea (atau jepang).
Pertama kali mengenal Pamuk dari novel Snow. Membuat saya mulai mencari-cari karya Pamuk lainnya. Berikutnya saya sempat membaca My Name Is Red, pinjam dari teman, dan kagum melihat bagaimana Pamuk dengan piawai meramu unsur misteri pembunuhan dengan sejarah, dan pada akhirnya, pertemuan budaya timur dan barat yang membuat Turki terbimbang antara dua identitas.
Belakangan saya tahu, bahwa My Name Is Red, adalah debut internasional dan awal kesuksesan Pamuk. Buku itu juga membuat Pamuk mendapat penghargaan International Dublin Literary Awards.
Istanbul: Kenangan Sebuah Kota, adalah memoar Pamuk. Dimulai dengan masa kecilnya. Terjebak dengan segala kondisi eksentrik keluarga Pamuk, dengan manis tapi getir Orhan Pamuk menceritakan tentang ruangan apartemen yang mereka tempati. Karpet yang berdebu, berbagai benda dalam lemari, cangkir-cangkir dan lukisan.
Pamuk menyajikan memoarnya itu dengan menghadirkan kombinasi yang sanggat menggambarkan Turki dalam pandangannya. Kita tidak akan menemukan cerita wisatawan yang penuh keindahan Hagia Sofia, atau jalan-jalan yang gemerlap. Pamuk menghadirkan gambaran gelapnya air Bosphorus, bangunan-bangunan tua yang runtuh menjadi puing, villa yang ditinggalkan, jalanan yang sunyi dan penuh kenangan. Lalu perpindahan ketika ia mulai menapaki kehidupannya. Sayangnya, kisahnya hanya sampai ketika Pamuk memutuskan menjadi penulis, setelah sebelumnya sempat menjadi pelukis. Kita tidak akan menemukan bagaimana kisahnya hingga ia menjadi seorang Orhan Pamuk yang dikenal dunia sekarang.
Tapi tetap saja terasa betapa kuatnya kedekatan Pamuk dengan Istanbul. Kota yang bagi Pamuk serupa dengan jiwanya, sehingga ia menganggap Istanbul itu sebagai mahluk yang hidup dan takdir Istanbul adalah benang takdirnya. Istanbul bukan hanya kota kelahirannya, tapi juga kehidupannya.
Sebagai seorang Turki sejati, Pamuk tidak segan mengungkapkan kesedihannya ketika Istanbul terpuruk dalam krisis identitas. Kehancuran kesultanan dan kebangkitan impian semu Turki yang modern ala Mustafa Kemal Ataturk, baginya justru tragedi.
Pamuk dengan cermat menggabungkan kenangan masa lalunya dan kenangan Istanbul. Sehingga kita seolah membaca tulisan yang bukan dituliskan oleh seorang manusia saja. Saya seolah merasakan Istanbul dan Pamuk, bercerita kepada saya, tentang kenangan mereka, kesedihan mereka, kemurungan dan kerinduan yang mereka rasakan.
Novel Memoar Istanbul ini juga penuh dengan berbagai foto dan lukisan, baik itu milik Pamuk ataupun karya orang lainnya, sehingga warna dan rasa kenangan dalam Istanbul ini sangat terasa.
Membaca Istanbul, juga membuat kita semakin paham, pada kebimbangan Turki. Terbelah antara Islam dan sekularisme, terpecah antara kerinduan pada budaya tradisional dan moderenitas ala barat, tertarik-tarik antara timur dan barat.
Pertama kali mengenal Pamuk dari novel Snow. Membuat saya mulai mencari-cari karya Pamuk lainnya. Berikutnya saya sempat membaca My Name Is Red, pinjam dari teman, dan kagum melihat bagaimana Pamuk dengan piawai meramu unsur misteri pembunuhan dengan sejarah, dan pada akhirnya, pertemuan budaya timur dan barat yang membuat Turki terbimbang antara dua identitas.
Belakangan saya tahu, bahwa My Name Is Red, adalah debut internasional dan awal kesuksesan Pamuk. Buku itu juga membuat Pamuk mendapat penghargaan International Dublin Literary Awards.
Istanbul: Kenangan Sebuah Kota, adalah memoar Pamuk. Dimulai dengan masa kecilnya. Terjebak dengan segala kondisi eksentrik keluarga Pamuk, dengan manis tapi getir Orhan Pamuk menceritakan tentang ruangan apartemen yang mereka tempati. Karpet yang berdebu, berbagai benda dalam lemari, cangkir-cangkir dan lukisan.
Pamuk menyajikan memoarnya itu dengan menghadirkan kombinasi yang sanggat menggambarkan Turki dalam pandangannya. Kita tidak akan menemukan cerita wisatawan yang penuh keindahan Hagia Sofia, atau jalan-jalan yang gemerlap. Pamuk menghadirkan gambaran gelapnya air Bosphorus, bangunan-bangunan tua yang runtuh menjadi puing, villa yang ditinggalkan, jalanan yang sunyi dan penuh kenangan. Lalu perpindahan ketika ia mulai menapaki kehidupannya. Sayangnya, kisahnya hanya sampai ketika Pamuk memutuskan menjadi penulis, setelah sebelumnya sempat menjadi pelukis. Kita tidak akan menemukan bagaimana kisahnya hingga ia menjadi seorang Orhan Pamuk yang dikenal dunia sekarang.
Tapi tetap saja terasa betapa kuatnya kedekatan Pamuk dengan Istanbul. Kota yang bagi Pamuk serupa dengan jiwanya, sehingga ia menganggap Istanbul itu sebagai mahluk yang hidup dan takdir Istanbul adalah benang takdirnya. Istanbul bukan hanya kota kelahirannya, tapi juga kehidupannya.
Sebagai seorang Turki sejati, Pamuk tidak segan mengungkapkan kesedihannya ketika Istanbul terpuruk dalam krisis identitas. Kehancuran kesultanan dan kebangkitan impian semu Turki yang modern ala Mustafa Kemal Ataturk, baginya justru tragedi.
Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan. Saya menghabiskan hidup memerangi kermurungan ini atau (seperti semua penduduk Istanbul) menjadikannya kemurungan saya.
Pamuk dengan cermat menggabungkan kenangan masa lalunya dan kenangan Istanbul. Sehingga kita seolah membaca tulisan yang bukan dituliskan oleh seorang manusia saja. Saya seolah merasakan Istanbul dan Pamuk, bercerita kepada saya, tentang kenangan mereka, kesedihan mereka, kemurungan dan kerinduan yang mereka rasakan.
Novel Memoar Istanbul ini juga penuh dengan berbagai foto dan lukisan, baik itu milik Pamuk ataupun karya orang lainnya, sehingga warna dan rasa kenangan dalam Istanbul ini sangat terasa.
Membaca Istanbul, juga membuat kita semakin paham, pada kebimbangan Turki. Terbelah antara Islam dan sekularisme, terpecah antara kerinduan pada budaya tradisional dan moderenitas ala barat, tertarik-tarik antara timur dan barat.
kayaknya menarik nih
ReplyDeleteYup,sedang mencari My Name Is Red.
DeleteMenyimak penuturan tentang kemurungan Pamuk pada negerinya, saya menjadi seperti terketuk sebuah rasa yang sama, di mana negeri yang saya diami pun telah sekian lama memendam sejarah kemakmurannya.
ReplyDeleteYa, setuju sama Kak Eky tentang buku ini...