Sejak pertama kali membaca kisah detektif karya 'Diva Novel Detektif' Agatha Christie, saya jatuh cinta dengan karakter Hercule Poirot. Gayanya yang selalu elegan, sok berkelas, dan sangat membanggakan kemampuan analisisnya.
Berbeda dengan gaya detektif legendaris Inggris lainnya, Sherlock Holmes. Yang metodenya terkadang tidak masuk akal. Mengenali jenis abu tembakau, mengenali jenis tanah, lumpur yang begitu dilihat langsung dikenali hanya ada di sungai tertentu. Kemampuan deduksi Sherlock pun agak terlalu berlebihan.
Sebaliknya, terlepas dari kesombongan dan penilaian yang terlalu tinggi terhadap kemampuannya, Hercule Poirot, lebih manusiawi.
Tirai, edisi aslinya Curtain, dirilis tahun 1975. Adalah penutup dari kisah Hercule Poirot.
Ada yang unik pada Tirai. Sepertinya Agatha Christie memiliki impian untuk memulai dan mengakhiri kisah Poirot, di Styles. Dimulai di desa Styles, kasus Pembunuhan di Styles merupakan novel perdana Agatha yang memperkenalkan tokoh Hercule Poirot kepada pembaca. Saat itu Poirot yang masih sehat berhasil membongkar pembunuhan di sebuah losmen, didampingi teman setianya kapten Arthur Hastings.
Losmen di Styles kembali menjadi latar cerita di Tirai. Kapten Hastings menerima surat untuk segera menyusul Poirot ke Styles, tepatnya ke sebuah losmen yang dulu pernah mereka tinggali.
Nuansa de javu terasa kental. Dan bagi saya, bagian pembuka itu terasa menyedihkan. Hastings yang kesepian setelah istrinya meninggal, bertemu Poirot tua yang duduk di kursi roda.
Membaca buku ini bertabur dengan hal-hal yang menyiratkan akhir bagi Poirot "Ini Hastings, akan merupakan perkaraku yang terakhir. dan juga merupakan perkaraku yang paling menarik - dan karenanya penjahatnya pun demikian pula, sudah beroperasi dengan kesanggupan yang sedemikian mengagumkan sampai sampai dia mampu mengalahkan aku."( hal 209)
Di buku ini Poirot yang biasanya angkuh dan tak terkalahkan mengakui kekalahannya.
Cerita berawal di Styles, suasana mencekam sudah terasa sejak awal. Hastings mengalami ujian ketika harus bertemu putri bungsunya, Judith, yang beranjak dewasa dan bekerja sebagai assisten laboratorium dr. Franklin. Judith memberontak dan tidak mau diatur ayahnya. Sementara itu, di antara tamu tamu losmen, terdapat seorang pembunuh yang membunuh tanpa motif, hanya untuk kesenangan, seorang psikopat yang dengan sangat ahli menyembunyikan kekejamannya. Tampil sebagai teman yang menyenangkan. Dan yang lebih mengerikan, dengan kemampuan manipulasi psikologis yang luar biasa, ia dapat menggerakkan seseorang untuk membunuh. Dan Poirot harus bertarung menghadapi kemampuan dahsyat itu, dari kursi roda akibat serangan arthritis yang dideritanya.
Meskipun begitu Poirot tetap bukan lawan enteng. Dengan kewaspadaan tinggi ia berhasil mencegah Hastings yang emosional, lolos dari jebakan psikologis si pembunuh, walaupun hampir saja Hasting menjadi alat pembunuh bagi si pembunuh. Meskipun Hasting selamat, dengan cerdas si pembunuh mengalihkan jebakannya, dan korban pertama akhirnya jatuh, istri dr. Franklin. Situasinya dengan cepat menjadi rumit.Korban lainnya mungkin hanya menunggu hitungan hari. Tak punya pilihan Poirot harus bertindak cepat. Segala upaya dikerahkan untuk mencegah jatuhnya korban. Dan klimaksnya, tak ada pilihan lain selain mengundang sang pembunuh ke kamar pribadinya.
Yang menarik, dalam buku ini pembaca akan menemukan duel psikologis yang jarang terjadi dalam kasus-kasus Poirot sebelumnya. Biasanya yang terjadi adalah dengan cermat Poirot memamerkan hasil analisa sel sel kelabunya - yang tak pernah salah, di hadapan banyak orang dan menjadikan si penjahat tak berkutik.
Sang psikopat seperti yang diperkirakan Poirot, melayani tantangan Poirot. Benar benar dua orang yang setara. Poirot mampu memahaminya karena mereka memiliki kemampuan yang sama tinggi. Tahu bahwa tak ada cara untuk mencurangi si psikopat yang ahli juga dalam deduksi, Poirot mengorbankan nyawanya.
Berbeda dengan gaya detektif legendaris Inggris lainnya, Sherlock Holmes. Yang metodenya terkadang tidak masuk akal. Mengenali jenis abu tembakau, mengenali jenis tanah, lumpur yang begitu dilihat langsung dikenali hanya ada di sungai tertentu. Kemampuan deduksi Sherlock pun agak terlalu berlebihan.
Sebaliknya, terlepas dari kesombongan dan penilaian yang terlalu tinggi terhadap kemampuannya, Hercule Poirot, lebih manusiawi.
Tirai, edisi aslinya Curtain, dirilis tahun 1975. Adalah penutup dari kisah Hercule Poirot.
Ada yang unik pada Tirai. Sepertinya Agatha Christie memiliki impian untuk memulai dan mengakhiri kisah Poirot, di Styles. Dimulai di desa Styles, kasus Pembunuhan di Styles merupakan novel perdana Agatha yang memperkenalkan tokoh Hercule Poirot kepada pembaca. Saat itu Poirot yang masih sehat berhasil membongkar pembunuhan di sebuah losmen, didampingi teman setianya kapten Arthur Hastings.
Losmen di Styles kembali menjadi latar cerita di Tirai. Kapten Hastings menerima surat untuk segera menyusul Poirot ke Styles, tepatnya ke sebuah losmen yang dulu pernah mereka tinggali.
David Suchet as Hercule Poirot and Hugh Fraser as Captain Hastings [ITV] source: www.exspress.co.uk |
Di buku ini Poirot yang biasanya angkuh dan tak terkalahkan mengakui kekalahannya.
Cerita berawal di Styles, suasana mencekam sudah terasa sejak awal. Hastings mengalami ujian ketika harus bertemu putri bungsunya, Judith, yang beranjak dewasa dan bekerja sebagai assisten laboratorium dr. Franklin. Judith memberontak dan tidak mau diatur ayahnya. Sementara itu, di antara tamu tamu losmen, terdapat seorang pembunuh yang membunuh tanpa motif, hanya untuk kesenangan, seorang psikopat yang dengan sangat ahli menyembunyikan kekejamannya. Tampil sebagai teman yang menyenangkan. Dan yang lebih mengerikan, dengan kemampuan manipulasi psikologis yang luar biasa, ia dapat menggerakkan seseorang untuk membunuh. Dan Poirot harus bertarung menghadapi kemampuan dahsyat itu, dari kursi roda akibat serangan arthritis yang dideritanya.
Meskipun begitu Poirot tetap bukan lawan enteng. Dengan kewaspadaan tinggi ia berhasil mencegah Hastings yang emosional, lolos dari jebakan psikologis si pembunuh, walaupun hampir saja Hasting menjadi alat pembunuh bagi si pembunuh. Meskipun Hasting selamat, dengan cerdas si pembunuh mengalihkan jebakannya, dan korban pertama akhirnya jatuh, istri dr. Franklin. Situasinya dengan cepat menjadi rumit.Korban lainnya mungkin hanya menunggu hitungan hari. Tak punya pilihan Poirot harus bertindak cepat. Segala upaya dikerahkan untuk mencegah jatuhnya korban. Dan klimaksnya, tak ada pilihan lain selain mengundang sang pembunuh ke kamar pribadinya.
Yang menarik, dalam buku ini pembaca akan menemukan duel psikologis yang jarang terjadi dalam kasus-kasus Poirot sebelumnya. Biasanya yang terjadi adalah dengan cermat Poirot memamerkan hasil analisa sel sel kelabunya - yang tak pernah salah, di hadapan banyak orang dan menjadikan si penjahat tak berkutik.
Berbeda kali ini. Poirot mengundang si psikopat, berdua saja. Dan yang kemudian terjadi adalah Poirot dengan sangat cermat berhasilmelihat celah, memberikan pilihan, "kamu mau mati dengan belati atau minum racun."
Sang psikopat seperti yang diperkirakan Poirot, melayani tantangan Poirot. Benar benar dua orang yang setara. Poirot mampu memahaminya karena mereka memiliki kemampuan yang sama tinggi. Tahu bahwa tak ada cara untuk mencurangi si psikopat yang ahli juga dalam deduksi, Poirot mengorbankan nyawanya.
"Dan di antara dua cangkir coklat dihadapan kita, yang telah engkau persiapkan untuk kita berdua, aku memilih cangkir cokelatmu, dan engkau harus meminum cangkir cokelatku."
Dua duanya minum racun, dengan porsi yang sama. Karena Poirot membubuhkan racun pada kedua cangkir.
Dan ini menjadi akhir yang sama, bagi si pembunuh, juga bagi Poirot.
Tirai pun ditarik turun, mengakhiri panggung perjalanan Hercule Poirot.
Saya masih ingat, saat pertama kali membaca Tirai, ending cerita itu membuat saya tercenung cukup lama. Ada perasaan kehilangan. Bagaimanapun saya sejak remaja, mengikuti kisah sang detektif. Kematian karakter fiksi ini, terasa seperti kematian seorang teman dekat. Hal yang tidak saya rasakan sama sekali diakhir cerita Harry Potter.
Pernah saya sesekali baca kisah detektif Poirot. Ada lah beberapa buku. Cuma ga pernah saya lanjutin. Tapi, baca sinopsis singkat ini rasanya kok sedih ya? Terasa betul kehilangan Poirot yg sempat aku kenal.
ReplyDeleteJarang baca Agatha Christy, wkwkwk
ReplyDeleteSaya kebetulan fans beratnya Poirot :)
ReplyDeleteSaya sangat suka novel Agatha Christie. Dulu semasa SMU saya selalu hunting novel Agatha Christie di perpustakaan sekolah. Saya menyukai gaya menulis beliau yang terkesan hidup dan detil. Kita diajak untuk ikut membayangkan dan merasakan alur2 yang ditulisnya. Novel Tirai pun sudah selesai saya baca. Ini adalah salah satu karya terbaik Agatha Christie.
ReplyDelete