Kalau ada cara sederhana untuk mendeskripsikan buku ini, mungkin kata berikut tepat. Sinisme.
Tidak bisa tidak, saya merasakan sinisme yang dibalut kepedihan dan kehilangan seorang anak yang kuat membanjiri setiap halamannya. Bagaimanapun Titik Nol adalah Safarnama, catatan perjalanan, seorang Agustinus Wibowo.
Entahlah. Bagi sebagian besar teman yang saya tanyai, buku-buku Agustinus Wibowo adalah representatif petualang dengan segala pesonanya. Bagi saya, membaca Selimut Debu, Garis Batas, dan ditutup dengan Titik Nol, adalah racikan menawan kopi kehidupan.
Pahit, tapi disaat yang sama memukau.
Siapa yang tidak terpesona dengan perjalanan para backpacker. Petualang dunia modern, dan milyaran kisah yang mereka bagikan kepada dunia. Kisah-kisah dengan berbagai sudut pandang. Dari mereka yang mencoba melukiskan indahnya dunia bahkan disaat atau tempat terburuk, hingga mereka yang menampar muka pembaca dengan berderet-deret kenyataan pahit. Membuat banyak orang terpaksa tertawa getir ketika menyadari sisi gelap dunia yang mereka sangka seindah mimpi.
Agustinus Wibowo adalah jenis kedua.
Tulisan demi tulisan, yang dimulai dari satu titik di Cina berlanjut jauh sampai negara-negara yang namanya mungkin tak pernah kita dengar. Tajikistan, Turkmenistan, Kazakshtan.
Agustinus memotret sejarah dan petualangannya di Afghanistan (Selimut Debu). Satu paket dengan sejarah dan informasi. Dan lagi-lagi, sisi gelap yang nyaris mendominasi untaian-untai cerita yang tetap mempesona. Ia menceritakan penjelajahan di negeri-negeri asia tengah, negeri-negeri pecahan Uni Sovyet, negeri-negeri dengan akhiran 'stan' dan kegamangan mereka (Garis Batas).
Lalu Titik Nol. Buku yang bukan hanya mengungkap sisi lain dari sebuah safarnama Agustinus Wibowo. Titik Nol juga sebuah cerita kegetiran dan perjalanan menemukan jati dirinya. Pahit, perih, tapi juga ada (dengan caranya sendiri) pesona.
Satu hal lainnya. Titik Nol memiliki gaya penulisan yang jauh lebih kuat dibandingkan dua buku sebelumnya.
Tidak bisa tidak, saya merasakan sinisme yang dibalut kepedihan dan kehilangan seorang anak yang kuat membanjiri setiap halamannya. Bagaimanapun Titik Nol adalah Safarnama, catatan perjalanan, seorang Agustinus Wibowo.
Entahlah. Bagi sebagian besar teman yang saya tanyai, buku-buku Agustinus Wibowo adalah representatif petualang dengan segala pesonanya. Bagi saya, membaca Selimut Debu, Garis Batas, dan ditutup dengan Titik Nol, adalah racikan menawan kopi kehidupan.
Pahit, tapi disaat yang sama memukau.
Siapa yang tidak terpesona dengan perjalanan para backpacker. Petualang dunia modern, dan milyaran kisah yang mereka bagikan kepada dunia. Kisah-kisah dengan berbagai sudut pandang. Dari mereka yang mencoba melukiskan indahnya dunia bahkan disaat atau tempat terburuk, hingga mereka yang menampar muka pembaca dengan berderet-deret kenyataan pahit. Membuat banyak orang terpaksa tertawa getir ketika menyadari sisi gelap dunia yang mereka sangka seindah mimpi.
Agustinus Wibowo adalah jenis kedua.
Tulisan demi tulisan, yang dimulai dari satu titik di Cina berlanjut jauh sampai negara-negara yang namanya mungkin tak pernah kita dengar. Tajikistan, Turkmenistan, Kazakshtan.
Agustinus memotret sejarah dan petualangannya di Afghanistan (Selimut Debu). Satu paket dengan sejarah dan informasi. Dan lagi-lagi, sisi gelap yang nyaris mendominasi untaian-untai cerita yang tetap mempesona. Ia menceritakan penjelajahan di negeri-negeri asia tengah, negeri-negeri pecahan Uni Sovyet, negeri-negeri dengan akhiran 'stan' dan kegamangan mereka (Garis Batas).
Lalu Titik Nol. Buku yang bukan hanya mengungkap sisi lain dari sebuah safarnama Agustinus Wibowo. Titik Nol juga sebuah cerita kegetiran dan perjalanan menemukan jati dirinya. Pahit, perih, tapi juga ada (dengan caranya sendiri) pesona.
Satu hal lainnya. Titik Nol memiliki gaya penulisan yang jauh lebih kuat dibandingkan dua buku sebelumnya.
Comments
Post a Comment