Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (sering disingkat Sitti Nurbaya atau Siti Nurbaya; Ejaan Republik Sitti Noerbaja) adalah sebuah novel Indonesia yang ditulis oleh Marah Rusli. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit nasional negeri Hindia Belanda, pada tahun 1922. Penulisnya dipengaruhi oleh perselisihan antara kebudayaan Minangkabau dari Sumatera bagian barat dan penjajah Belanda, yang sudah menguasai Indonesia sejak abad ke-17. Pengaruh lain barangkali pengalaman buruk Rusli dengan keluarganya; setelah memilih perempuan Sunda untuk menjadi istrinya, keluarganya menyuruh Rusli kembali ke Padang dan menikah dengan perempuan Minang yang dipilihkan.
Sitti Nurbaya menceritakan cinta remaja antara Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya, yang hendak menjalin cinta tetapi terpisah ketika Samsul dipaksa pergi ke Batavia. Belum lama kemudian, Nurbaya menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk Maringgih (yang kaya tapi kasar) sebagai cara untuk ayahnya hidup bebas dari utang; Nurbaya kemudian dibunuh oleh Maringgih. Pada akhir cerita Samsul, yang menjadi anggota tentara kolonial Belanda, membunuh Meringgih dalam suatu revolusi lalu meninggal akibat lukanya.
Ditulis dalam bahasa Melayu yang baku dan termasuk teknik penceritaan tradisional seperti pantun, novel Sitti Nurbaya menyinggung tema kolonialisme, kawin paksa, dan kemodernan. Novel yang disambut baik pada saat penerbitan pertamanya ini sampai sekarang masih dipelajari diSMA-SMA se-Nusantara. Novel ini pernah dibandingkan dengan Romeo dan Julet karya William Shakespeare serta legenda Cina Sampek Engtay.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sitti_Nurbaya
Menyebut nama Marah Roesli, maka sebuah karya sastra legendaris akan identik dengan nama pengarang besar itu, kisah roman Sitti Noerbaja (Sitti Nurbaya). Kisah roman ini memang menjadi salah kisah cinta yang paling dikenal oleh bangsa Indonesia. Bisa jadi karena cetak ulang bukunya terus dilakukan, bisa jadi karena secara turun temurun para pelajar diwajibkan membaca dan meresensi buku ini, atau bisa jadi karena nama Sitti Nurbaya selalu berulang muncul dalam kesehraian hingga saat ini. Entah dalam bentuk lagu atau dialog dalam sinetron/film. Novel ini sendiri pernah dianggkat menjadi sinetron di TVRI pada tahun 1991. Dengan penggarapan sangat serius layaknya sebuah film layar lebar.
Tapi tulisan ini bukan hendak membahas soal roman Sitti Nurbaya, melainkan satu karya terakhir Marah Roesli, roman semi otobiografi yang karena amanah sang penulis, membutuhkan waktu 50 tahun sebelum diterbitkan, Memang Jodoh.
Dalam kata pengantar Rully Roesli, cucu novelis ini yang juga penulis, dokter spesialis ginjal dan guru besar di Universitas Padjadjaran, Bandung. Menceritakan bagaimana Kakeknya menegaskan soal amanah menerbitkan buku itu. Juga memberikan gambaran bahwa roman Memang Jodoh, memuat gambaran kisah sang kakek.
Hatinya tak ingin melanjutkan pendidikan ke Belanda, meskipun itu akan membuka peluangnya untuk mendapatkan gaji yang lebih besar saat bekerja nanti.
Begitu juga dengan soal perjodohan.Ia tak ingin mengikuti adat kebiasaan sebagai bangsawan dimana ia akan menunggu lamaran, dan menikah dengan gadis bangsawan kaya, dan hidup tenang dengan pembiayaan dari keluarga istrinya. Meskipun secara adat itu adalah kemuliaan baginya sebagai bangsawan. Namun hatinya kembali menolak.
Berulang kali usulan dan lamaran menikah ditampiknya walau banyak yang menyarankan menikah bisa mengobati pedih hatinya. Baginya menikah bukanlah perkara mudah, apalagi jika ia belum menemukan sosok yang tepat. Sebagai siswa ia juga belum memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai sebuah rumah tangga meskipun sebagai seorang Marah harusnya ia tak memusingkan soal itu. Hamli tidak ingin dibantu. Baginya anak istri adalah tanggungannya, bukan tanggungan mamaknya. Sungguh hal yang tak lazim bagi seorang Sultan atau seorang Marah.
Hingga akhirnya Hamli memutuskan untuk bersekolahke Bogor. Di Bogorlah Hamli menemukan pengobat pilunya. Putri Wedana Cibinong, Nyai Radin Asmawati. Bersamanya Hamli yang selalu terlihat murung, berubah menjadi sosok yang ceria.
Namun meskipun keduanya saling mencintai, perkawinan Hamli dan Din Wati bukanlah kemeriahan seperti yang seharusnya mereka miliki. Perbedaan latar belakang membuat pernikahan mereka harus dirahasiakan dari kedua belah pihak. Dari sisi Hamli, ia sudah mencoreng adat dengan tidak menikahi perempuan dari tanahnya. Keberadaan Din Wati dianggap telah mencuri hak para perempuan minang.
Sementara bagi keluarga Din Wati, sosok Hamli sebagai seorang pelajar sungguh tak layak bersanding dengannya. Latar belakang keluarganya dianggap tidak jelas. Terlebih karena ada kisah pahit dalam keluarga Din Wati, ketika seorang kerabatnya menikah dengan laki-laki Minang. Tak hanya mengalami siksa lahir batin. Perhiasan dan pakaian yang dibawanya dari rumah orang tua direbut oleh Ipar perempuan, hanya karena sang suami tidak bisa memberikan perhiasan dan pakaian yang sama. Juga aneka tugas berat yang harus dikerjakannya. Puncaknya saat sang suami menikah lagi dengan salah satu perempuan Padang dengan alasan adat.
Berulang kali usulan dan lamaran menikah ditampiknya walau banyak yang menyarankan menikah bisa mengobati pedih hatinya. Baginya menikah bukanlah perkara mudah, apalagi jika ia belum menemukan sosok yang tepat. Sebagai siswa ia juga belum memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai sebuah rumah tangga meskipun sebagai seorang Marah harusnya ia tak memusingkan soal itu. Hamli tidak ingin dibantu. Baginya anak istri adalah tanggungannya, bukan tanggungan mamaknya. Sungguh hal yang tak lazim bagi seorang Sultan atau seorang Marah.
Hingga akhirnya Hamli memutuskan untuk bersekolahke Bogor. Di Bogorlah Hamli menemukan pengobat pilunya. Putri Wedana Cibinong, Nyai Radin Asmawati. Bersamanya Hamli yang selalu terlihat murung, berubah menjadi sosok yang ceria.
Namun meskipun keduanya saling mencintai, perkawinan Hamli dan Din Wati bukanlah kemeriahan seperti yang seharusnya mereka miliki. Perbedaan latar belakang membuat pernikahan mereka harus dirahasiakan dari kedua belah pihak. Dari sisi Hamli, ia sudah mencoreng adat dengan tidak menikahi perempuan dari tanahnya. Keberadaan Din Wati dianggap telah mencuri hak para perempuan minang.
Sementara bagi keluarga Din Wati, sosok Hamli sebagai seorang pelajar sungguh tak layak bersanding dengannya. Latar belakang keluarganya dianggap tidak jelas. Terlebih karena ada kisah pahit dalam keluarga Din Wati, ketika seorang kerabatnya menikah dengan laki-laki Minang. Tak hanya mengalami siksa lahir batin. Perhiasan dan pakaian yang dibawanya dari rumah orang tua direbut oleh Ipar perempuan, hanya karena sang suami tidak bisa memberikan perhiasan dan pakaian yang sama. Juga aneka tugas berat yang harus dikerjakannya. Puncaknya saat sang suami menikah lagi dengan salah satu perempuan Padang dengan alasan adat.
Meskipun tak hentinya cobaan datang dalam pernikahan Hamli dan Din Wati, seperti fitnah mengenai asal-usul Din Wati, berulang-ulang lamaran yang masih terus disampaikan ke Hamli tanpa memperdulikan keberadaan Din Wati, namun mereka bertekad menjalani pernikahan mereka dengan sabar dan ilkhlas. Hamli dengan tegas bahkan menyatakan hanya akan ada Din Wati sebagai satu-satunya istrinya.
Marah Roesli yang juga berprofesi sebagai dokter hewan selain sebagai penulis ini, menentang keras tradisi pernikahan dijodohkan itu, ia memilih menikahi perempuan yang dicintainya, seorang gadis Sunda bernama Raden Ratna Kancana.Marah bertemu dengan Ratna Kencana di Bogor, tempatnya menuntut ilmu di sebuah sekolah kedokteran hewan. Mereka memutuskan untuk menikah pada 2 November 1911. Pernikahan mereka ditentang oleh keluarga kedua mempelai. Akibatnya, Marah pun dikucilkan secara adat dan terusir dari tanah kelahirannya.
Usai menikah, ujian dan cobaan terus menguji pernikahan mereka. Berbagai cara ditempuh Untuk memisahkan mereka. Dari ilmu hitam, menganjurkan perceraian, hingga menyarankan Marah Roesli untuk berpoligami dengan gadis asli Padang pilihan keluarganya. Marah Roesli dengan tegas melawan adat dan praktik poligami yang kental dalam budaya masyarakat setempat. Kisah Novel “Memang Jodoh” tak lain memang kisah percintaan sang penulis, Marah Roesli.
Agak sulit memang memahami Novel yang ditulis dengan menggunakan gaya sastra klasik, dan pilihan bahasanya yang cenderung masih menggunakan gaya lama, dikombinasikan dengan bahasa melayu tinggi. Namun justru ketika membacanya dengan perlahan-lahan, mencoba meresapi kesantunan bahasanya, menikmati ketika kita yang terbiasa dengan kehidupan modern, dibawa kembali kedaam periode waktu masa lalu dengan segala aturan dan pola kehidupannya, tak bisa tidak saya terpesona.
Ada ketenangan yang mengalir ketika membacanya.
Saya sebenarnya jenuh dengan berbagai tulisan yang 'modern' dan mengusung kebebasan tanpa aturan. Novel ini menjadi pengobat kerinduan pada karya yang ketika dibaca, tak hanya mengisi otak, namun juga mengisi jiwa.
Comments
Post a Comment